Oleh: Moh. Musfiq Arifqi, S.E.,M.E.
(Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep)
E-mail : musfiqarifqi18@gmail.com
Lahirnya perbankan syariah pada umumnya dipahami sebagai jawaban atas keraguan umat Islam pada transaksi perbankan konvensional yang selalu diidentik dengan riba. Perbankan syariah dipercaya sebagai solusi untuk mencapai perniagaan yang adil dan saling menguntungkan satu sama lain. Namun di sisi lain, perbankan syariah bukan menjadi solusi utama dalam membangun sistem keuangan Islam, bahkan justru hanya sebagai jembatan agar orang tertarik karena memakai nama yang mengandung nilai keislaman. Nah, bila ditelusuri secara mendalam, hal ini akan memberikan banyak bukti di lapangan terkait praktik perbankkan syariah yang sebenarnya. Kita dapat membedakan praktik perbankkan syariah dengan konvensional.
Selama ini, tentu kita mengenal perbankan syariah adalah salah satu lembaga keuangan yang sepenuhnya menerapkan nilai-nilai syariah. Dari sisi akad atau transaksi yang dijalankan sudah banyak menerapkan prinsip-prinsip syariah. Namun, dalam praktiknya masih ada ketidaksesuaian dengan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi syariah, masih banyak pula ditemukan bahwa akad tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan akad yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal demikian terjadi, apakah karena akad-akad yang dijalankan oleh Nabi hanya terjadi pada skala mikro (aktivitas antar individu), sehingga pada hakikatnya akad-akad tersebut tidak bisa ditarik pada ranah ekonomi makro, atau memang ada polemik lain yang menghambat ketidaksesuaian akad syariah dengan praktik di lapangan.
Menurut penulis, dari sekian akad di perbankkan syariah, semuanya berangkat dari adanya asumsi terhadap kebutuhan dana, hanya sebagai bentuk untuk menutupi kebutuhan nasabah terhadap dana dari bank, baik untuk usaha ataupun konsumsi. Dengan landasan kebutuhan dana tersebut, lahirlah beragam akad, diantaranya akad mudharabah, murabahah, ijarah, qard dan lain-lain. Akad-akad tersebut memiliki proporsi tersendiri dalam penerapannya. Pertama, dapat digunakan untuk akad bagi hasil (produktif) yang terdiri dari mudaharah dan musyarakah. Kedua sebagai akad jual beli seperti murabahah, salam dan lain-lain. Ketiga adalah akad yang berlandaskan tabarruat, tolong-menolong, seperti akad qard, wadi’ah dan lain-lain.
Akad Qard wal Al-dain (pinjaman dan hutang) termasuk pada akad yang bertujuan untuk tolong menolong (tabarruat) bagi orang yang membutuhkan, bukan untuk berspekulasi. Oleh karena itu, akad ini seharusnya tidak memungut biaya apapun yang ditanggung oleh orang yang membutuhkan (nasabah). Prinsip tolong menolong inilah yang menjadi landasan dalam penerapan akad pinjaman ini. Dalam praktiknya, lembaga keuangan syariah ketika bertindak sebagai penyedia pinjaman, seharusnya tidak menuntut nasabahnya untuk membayar jika tidak bisa membayarnya dengan alasan benar-benar tidak mampu. Namun kenyataannya bank tidak ingin rugi, sehingga hal demikian dijadikan suatu keharusan yang harus dibayar, padahal dalam fiqih muamalah jika nasabah tidak sanggup membayarnya dianjurkan untuk menshodakahkannya dan merelakannya.
Akad Qard ini, jika dikaji lebih mendalam lagi dan dikaitkan dengan kenyataan, bahwa akad tersebut termasuk pada dasar akad atau fondasi utama dari segala bentuk praktik transaksi di lembaga keuangan, baik lembaga keuangan Islam ataupun konvensional, perbankkan atau non-perbankkan. Sebab, mayoritas orang melakukan transaksi pembiayaan di bank hanyalah orang yang lagi butuh dana untuk keperluan tertentu, lebih tepatnya bank dijadikan sebagai lembaga tempat peminjaman dana. Bahasa fulgarnya nasabah pergi ke bank karena ingin berhutang, kerena meraka butuh dana. Seandainya mereka tidak butuh dana maka mereka tidak akan pergi ke bank.
Selanjutnya, contoh praktik yang terjadi pada akad murabahah, dalam hal ini akad yang tergolong pada akad jual beli. Misalnya, ada seseorang ingin membeli sebuah rumah seharga Rp 100 juta, maka pihak bank akan membelikannya untuk yang bersangkutan, dan menjual-nya lagi seharga (misalnya) Rp 150 juta. Transaksi ini dihalalkan dengan alasan akad yang disepakati. Tapi ada persoalan di sini. Kalau harga rumah tersebut di pasaran saat itu Rp 100 juta, mengapa bank menjualnya seharga Rp 150 juta. Hal inilah yang menjadi polemik dalam praktik akad syariah, karena alasan tidak memiliki dana pada saat itu untuk membelinya langsung, maka dengan solusi yang hampir sama dengan berhutang, lalu pergi ke bank agar bank membelikannya terlebih dahulu. Lantas, akad ini hampir sama pengaplikasiannya dengan akad pinjaman atau hutang (Qard), karena pihak nasabah lagi butuh dana, maka berhutanglah pada bank.
Oleh karena itu, berbagai macam akad di perbankkan syariah, masih sangat minim dalam pengaplikasian kesyariatannya. Perbankan syariah hanya sebatas istilah nama lembaga syariah, karena dalam penerapan akadnya masih butuh banyak evaluasi. Sedangkan dalam perbankan konvensional, semua akad atau kontrak yang dilaksanakan sudah jelas bahwa sifatnya meminjam ke bank dengan proporsi margin yang ditetapkan.
Beberapa persoalan akad di perbankkan syariah tersebut, perlu kita sadari dan pelajari lebih mendalam untuk mencari solusi terbaik demi membangun tujuan utama ekonomi Islam yang menjunjung tinggi maslahah mursalah, kesejahteraan bersama. Menurut penulis, dalam penerapan akad syairah seharusnya pihak lembaga (perbankan atau non-perbankan) mampu mengelompokan tujuan dilaksanakanya akad tersebut. Dalam kaidah fiqih muamalah setidaknya ada dua macam akad atau kontrak transaksi dalam bermuamalah, yaitu akad yang bertujuan untuk spekulasi (tijarah/mu’awadah) dan akad yang bertujuan untuk tolong menolong (tabarru’).
Tijarah/mu’awadah adalah salah satu transaksi yang berorientasi pada keuntungan, atau berkenaan dengan bisnis yang bertujuan profit oriented. Salah satu contohnya yaitu akad tijarah prinsip jual-beli seperti: salam, murabaha dan istishna), akad dengan prinsip bagi hasil atau profit and loss sharing seperti: mudharabah dan musyarakah, akad yang berdasarkan pada prinsip sewa-menyewa seperti: ijarah dan ijarah wa iqtina/ ijarah muntahia bittamlik). Sedangkan akad tabarru’ adalah akad ataupun transaksi yang orientasinya tidak untuk mendapatkan hasil atau laba. Akad ini lebih mengarah pada akad yang bertujuan untuk saling membantu. Pengaplikasian akan ini tidak mengharapkan keuntungan melainkan salah satu bentuk perilaku kebaikan yang nantinya memperoleh balasan dari Allah. Salah satu contoh akad tabarru’ ini diantaranya akad al-qardh, wadi’ah, rahn, wakalah, hiwalah, kafalah, dan lain-lain.
Berdasarkan pengelompokan tersebut. Dapat diketahui bahwa Islam sudah jelas mengatur segala bentuk muamalah di dunia ini, hanya saja kita sebagai mahluknya belum mampu menjalani sepenuhnya. Sedangkan cara lain untuk membangun praktik ekonomi Islam yang sesuai dengan ajaran Rosul, yaitu dengan memperbaiki kemampuan sumber daya manusia. Sumber daya manusia adalah penunjang utama demi terciptanya ekonomi Islam. SDA ekonom syariah yang mempuni akan membawakan keberhasilan lembaga ekonomi Islam ke depan.
Informasi Kampus :
STAI Miftahul Ulum Tarate Pandian Sumenep
Menuju Institut Terkemuka di Madura
Jalan Pesantren No 11
Tarate Pandian Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur - Indonesia
Telp : +62 878 - 7030 - 0328 / WA : +62 81 776 - 883 -730 / +62 823 - 3483 - 4806
Website : http://www.staimtarate.ac.id
E-mail 1 : official@staimtarate.ac.id
E-mail 2 : staimtarate.official@gmail.com
SOSIAL MEDIA
Maaf Belum Tersedia
Maaf Belum Tersedia